
Di dalam sebuah hadis qudsi Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda, bahwa Allah SWT telah berfirman, “Tidaklah hamba-Ku ber-taqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku sukai daripada menunaikan kewajiban yang telah Aku perintahkan kepadanya. Hamba-Ku selalu ber-taqarrub kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.” (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadis qudsi ini, hal yang paling utama yang bisa mendatangkan cinta Allah SWT bagi seorang Muslim adalah melakukan semua kewajiban, termasuk di dalamnya meninggalkan semua keharaman; kemudian dibarengi dengan bersungguh-sungguh mengerjakan banyak amalan sunnah serta meninggalkan hal-hal yang makruh dan subhat (Ibn Rajab al-Hanbali, I/25).
Menurut Abdur Ra’uf al-Minawi, yang dimaksud kewajiban dalam hadis di atas mencakup fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah (Abdur Ra’uf al-Minawi, I/515).
Di antara kewajiban terpenting sekaligus terbesar atas kaum Muslim adalah menegakkan hukum-hukum Allah SWT (syariah Islam) dalam seluruh aspek kehidupan; baik dalam tataran individual, sosial maupun negara. Alasannya jelas, sebagaimana menurut al-Minawi di atas, kewajiban dalam Islam ada dua.
Pertama: fardhu ‘ain (kewajiban individual) seperti shalat, shaum, haji, menuntut ilmu, melakukan amar makruf nahi mungkar, dll.
Kedua: fardhu kifayah (kewajiban kolektif), antara lain melakukan amar makruf nahi mungkar serta menegakkan syariah Islam secara formal dalam negara.
Namun sayang, bukan hanya pada bulan Ramadhan, pada bulan-bulan lain pun, kebanyakan kaum Muslim hanya ber-taqarrub dengan menunaikan kewajiban-kewajiban individualnya saja plus beberapa perkara sunnah. Adapun fardhu kifayahnya-seperti penegakkan syariah islam secara kaffah—mereka tinggalkan. Padahal hanya dengan melaksanakan semua kewajiban (baik fardhu ‘ain maupun fardu kifayah)—tentu dengan meninggalkan semua keharaman—itulah setiap Muslim benar-benar bisa dikatakan bertakwa, sebagai ‘buah’ dari puasa yang dia lakukan selama bulan Ramadhan.