Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pernah betutur, ”Jika Anda berjumpa dengan seseorang di antara manusia, lalu Anda melihat keutamaan dan keunggulan dirinya daripada Anda, hendaklah Anda berpikir, ’Boleh jadi Allah menjadikan dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya daripada aku.’ Jika orang yang Anda jumpai itu lebih muda dari Anda, hendklah Anda berprasangka, ’Dia tentu lebih sedikit bermaksiat kepada Allah, sedangkan aku telah banyak bermaksiat kepada-Nya sehingga tentu ia lebih baik daripada aku.’ Jika orang yang Anda jumpai lebih tua dari Anda,  hendaklah Anda berasumsi, ’Dia tentu lebih banyak beribadah daripada aku.’ Jika orang yang Anda jumpai adalah orang yang berilmu, hendaklah Anda berkeyakinan, ’Dia tentu mendapatkan karunia dari Allah apa yang tidak aku peroleh, mengetahui banyak hal dari apa yang tidak banyak aku ketahui dan dia pasti telah banyak mengamalkan ilmunya.’ Jika orang yang Anda jumpai adalah orang awam/bodoh, hendaklah Anda berkata, ’Kalaupun ia bermaksiat kepada Allah tentu karena ketidaktahuan dan ketidaksadarannya, sedangkan jika aku bermaksiat kepada-Nya tentu dengan sepenuh pengetahuan dan kesadaranku.’…”

 

Dengan kata-katanya di atas Syaikh Abdul Qadir al-Jilani ingin agar kita selalu bersikap rendah hati dan tahu diri, bahwa dalam hal amal salih boleh jadi kita belum apa-apa dibandingkan dengan orang lain. Dengan itu kita akan selalu terpacu untuk menjadi orang yang lebih baik daripada orang lain. Sebaliknya, kita pun dituntut untuk sadar diri, bahwa boleh jadi kita lebih banyak berdosa dan dibandingkan dengan orang lain. Dengan itu kita akan lebih banyak bertobat dan meninggalkan lebih banyak lagi maksiat.